October 08, 2007

Keutamaan Mengkhatamkan Al-Qur’an

Oleh Tim dakwatuna.com 17 April 2007 @ 12:24 0/Rabiul Akhir/1428 H

Dari Ibnu Abbas r.a., beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw.
“Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)

Generasi sahabat dapat menjadi generasi terbaik (baca; khairul qurun) adalah karena mereka memiliki ihtimam yang sangat besar terhadap Al-Qur’an. Sayid Qutub dalam bukunya Ma’alim Fii Ath-Thariq menyebutkan tiga faktor yang menjadi rahasia mereka mencapai generasi terbaik seperti itu. Pertama karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber pegangan hidup, sekaligus membuang jauh-jauh berbagai sumber-sumber kehidupan lainnya. Kedua, ketika membacanya mereka tidak memiliki tujuan-tujuan untuk tsaqafah, pengetahuan, menikmati keindahan ataupun tujuan-tujuan lainnya. Namun tujuan mereka hanya semata-mata untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliyah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran ataupun kebudayaan.

Tilawatul qur’an; itulah kunci utama kesuksesan mereka. Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan, “Usahakan agar Anda memiliki wirid harian yang diambil dari kitabullah minimal satu juz per hari dan berusahalah agar jangan mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari sebulan dan jangan kurang dari tiga hari.”

Keutamaan Membaca al-Qur’an

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi memaparkan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan membaca Al-Qur’an. Di antaranya:

1. Akan menjadi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.
Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

2. Mendapatkan predikat insan terbaik.
Dari Usman bin Affan ra, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Tirmidzi)

3. Mendapatkan pahala akan bersama malaikat di akhirat, bagi yang mahir mambacanya.
Dari Aisyah ra, berkata; bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan ia mahir membacanya, maka kelak ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi taat kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Mendapatkan pahala dua kali lipat, bagi yang belum lancar.
“Dan orang yang membaca Al-Qur’an, sedang ia masih terbata-bata lagi berat dalam membacanya, maka ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

5. Akan diangkat derajatnya oleh Allah
Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah saw. bersabda,: “Sesungguhnya Allahswt. akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dengan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)

6. Mendapatkan sakinah, rahmat, dikelilingi malaikat, dan dipuji Allah di hadapan makhluk-Nya.
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketengangan, akan dilingkupi pada diri mereka dengan rahmat, akan dilingkari oleh para malaikat, dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di dekat-Nya.” (HR. Muslim)

Keutamaan mengkhatamkan al-Qur’an

a. Merupakan amalan yang paling dicintai Allah
Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)

b. Orang yang mengikuti khataman Al-Qur’an, seperti mengikuti pembagian ghanimah
Dari Abu Qilabah, Rasulullah saw. mengatakan, “Barangsiapa yang menyaksikan (mengikuti) bacaan Al-Qur’an ketika dibuka (dimulai), maka seakan-akan ia mengikuti kemenangan (futuh) fi sabilillah. Dan barangsiapa yang mengikuti pengkhataman Al-Qur’an maka seakan-akan ia mengikuti pembagian ghanimah.” (HR. Addarimi)

c. Mendapatkan doa/shalawat dari malaikat
Dari Mus’ab bin Sa’d, dari Sa’d bin Abi Waqas, beliau mengatakan, “Apabila Al-Qur’an dikhatamkan bertepatan pada permulaan malam, maka malaikat akan bersalawat (berdoa) untuknya hingga subuh. Dan apabila khatam bertepatan pada akhir malam, maka malaikat akan bershalawat/ berdoa untuknya hingga sore hati.” (HR. Addarimi.)

d. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sunnah Rasulullah saw. Hal ini tergambar dari hadits berikut: Dari Abdullah bin Amru bin Ash, beliau berkata, “Wahai Rasulullah saw., berapa lama aku sebaiknya membaca Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam satu bulan.” Aku berkata lagi, “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Aku berkata lagi, “Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima belas hari.” “Aku masih lebih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Namun beliau tidak memberikan izin bagiku. (HR. Tirmidzi)

Waktu mengkhatamkan Al-Qur’an

a. Keutamaan waktu yang dibutuhkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an
Dari Abdullah bin Amru bin Ash, dari Rasulullah saw., beliau berkata, “Puasalah tiga hari dalam satu bulan.” Aku berkata, “Aku mampu untuk lebih banyak dari itu, wahai Rasulullah.” Namun beliau tetap melarang, hingga akhirnya beliau mengatakan, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan bacalah Al-Qur’an (khatamkanlah) dalam sebulan.” Aku berkata, “Aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau terus malarang hingga batas tiga hari. (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan batasan waktu paling minimal dalam membaca Al-Qur’an. Karena dalam hadits lain terkadang beliau membatasi hanya boleh dalam 5 hari, dan dalam hadits yang lain dalam tujuh hari. Maka dari sini dapat disimpulkan, batasan paling cepat dalam mengkhatamkan Al-qur’an adalah tiga hari.

b. Larangan untuk mengkhatamkan kurang dari tiga hari
Hadits di atas juga mengisyaratkan larangan Rasulullah saw. untuk mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Hikmah di balik larangan tersebut, Rasulullah saw. katakan dalam hadits lain sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Amru, beliau mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan dapat memahami/menghayati Al-Qur’an, orang yang membacanya kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud)

c. Rasulullah saw. tidak pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam
Dari Aisyah ra, beliau mengatakan, “Aku tidak pernah tahu Rasulullah saw. mengkhatamkan Al-Qur’an secara keseluruhan pada malam hingga fajar.” (HR. Ibnu Majah)

Sunnah dalam teknis mengkhatamkan Al-Qur’an

Adalah Anas bin Malik, beliau memiliki kebiasaan apabila telah mendekati kekhataman dalam membaca Al-Qur’an, beliau menyisakan beberapa ayat untuk mengajak keluarganya guna mengkhatamkan bersama.

Dari Tsabit al-Bunnani, beliau mengatakan bahwa Anas bin Malik jika sudah mendekati dalam mengkhatamkan Al-Qur’an pada malam hari, beliau menyisakan sedikit dari Al-Qur’an, hingga ketika subuh hari beliau mengumpulkan keluarganya dan mengkhatamkannya bersama mereka. (HR. Darimi)

Hikmah yang dapat dipetik dari hadits Anas di atas, adalah bahwa ketika khatam Al-Qur’an merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah. Dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga, akan dapat memberikan berkah kepada seluruh anggota keluarga. Karena, semuanya berdoa secara bersamaan kepada Allah mengharapkan rahmat dan berkah dari-Nya.

Kiat-Kiat Agar Senantiasa Dapat Mengkhatamkan Al-Qur’an

Ada beberapa kiat yang barangkali dapat membantu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an, di antaranya adalah:

1. Memiliki ‘azam’ yang kuat untuk dapat mengkhatamkannya dalam satu bulan. Atau dengan kata lain memiliki azam untuk membacanya satu juz dalam satu hari.

2. Melatih diri dengan bertahap untuk dapat tilawah satu juz dalam satu hari. Misalnya untuk sekali membaca (tanpa berhenti) ditargetkan setengah juz, baik pada waktu pagi ataupun petang hari. Jika sudah dapat memenuhi target, diupayakan ditingkatkan lagi menjadi satu juz untuk sekali membaca.

3. Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an yang tidak dapat diganggu gugat, kecuali jika terdapat sebuah urusan yang teramat sangat penting. Hal ini dapat membantu kita untuk senantiasa komitmen membacanya setiap hari. Waktu yang terbaik menurut penulis adalah ba’da subuh.

4. Menikmati bacaan yang sedang dilantunkan oleh lisan kita. Lebih baik lagi jika kita memiliki lagu tersendiri yang stabil, yang meringankan lisan kita untuk melantunkannya. Kondisi seperti ini membantu menghilangkan kejenuhan ketika membacanya.

5. Usahakan untuk senantiasa membersihkan diri (baca: berwudhu’) terlebih dahulu sebelum kita membaca Al-Qur’an. Karena kondisi berwudhu’, sedikit banyak akan membantu menenangkan hati yang tentunya membantu dalam keistiqamahan membaca Al-Qur’an.

6. Membaca-baca kembali mengenai interaksi generasi awal umat Islam, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik dari segi tilawah, pemahaman ataupun pengaplikasiannya.

7. Memberikan iqab atau hukuman secara pribadi, jika tidak dapat memenuhi target membaca Al-Qur’an. Misalnya dengan kewajiban infaq, menghafal surat tertentu, dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan kondisi pribadi kita.

8. Diberikan motivasi dalam lingkungan keluarga jika ada salah seorang anggota keluarganya yang mengkhatamkan al-Qur’an, dengan bertasyakuran atau dengan memberikan ucapan selamat dan hadiah.

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sifat Rasulullah, para sahabat, salafuna shaleh, dan orang-orang mukmin yang memiliki ketakwaan kepada Allah. Seyogyanya, kita juga dapat memposisikan Al-Qur’an sebagaimana mereka memiliki semangat, meskipun kita jauh dari mereka.

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (An-Ankabut: 69).

Artikel dicetak dari situs dakwatuna.com: http://www.dakwatuna.com
URL ke artikel: http://www.dakwatuna.com/index.php/alquranul-karim/2007/keutamaan-mengkhatamkan-al-quran/

August 30, 2007

Rukun Islam

Rasulullah s.a.w telah menetapkan tujuan pertama kebangkitan dan cara dalam dakwahnya sebagaimana baginda bersabda:

"Sesungguhnya aku hanya diutuskan untuk menyempurnakan akhlak."

Seolah-olah risalah yang menggariskan jalannya di dalam sejarah kehidupan dan perkara luar biasa yangtelah dibawa dalam menghimpunkan dan menyatukan manusia dan ingin menegakkan mereka supaya memiliki sifat kesedaran.

Ibadah yang telah disyariatkan oleh Islam tidak sama dengan ibadah agama lain yang membelenggu manusia dengan perkara ghaib yang tidak dapat difahami atau yang dipaksa kepada manusia supaya melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak jelas maksud dan tujuannya.

Kewajipan yang telah ditetapkan oleh Islam merupakan latihan kepada manusia supaya mereka dapat hidup dengan akhlak yang baik sebagaimana solat yang telah diperintahkan oleh Allah s.w.t dalam firmannNya:

"Sesungguhnya sembahyang itu mencegah daripada perbuatan keji dan mungkar."(29:45)

Solat dapat menjauhkan manusia dari perkara yang tidak baik dan inilah hakikat solat. Hadis yang diriwayatkan oleh Nabi s.a.w berasal daripada Allah (hadis Qudsi) sebagaimana berikut:

"Aku hanya menerima solat daripada yang merendah diri di hadapan keagunganKu, tidak menganiayai makhlukKu dan orang yang sentiasa ingat kepadaKu, mengasihi orang miskin, musafir, janda dan orang ditimpa musuh.

Zakat yang diwajibkan oleh Islam bukanlah diambil begitu sahaja dari orang lain, dengan inilah dapat menanam rasa cinta serta dapat memperkuhkan hubungan, saling mengenal antara berbagai lapisan masyarakat.

Tujuan dikeluarkan zakat, Al-Quran telah menjelaskan:

“Ambillah (sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), supaya dengannya engkau membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk).” (9:103)

Pembersihan jiwa dari kekotoran serta mengangkat martabat masyarakat ke taraf yang lebih mulia adalah hikmah yang pertama yang tekandung di dalam wajib zakat.

Oleh itu Rasulullah s.a.w memperluaskan pengertian zakat dengan sabdanya yang bermaksud:

“Senyum di hadapan saudaramu adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar yang engkau lakukan adalah sedekah. Engkau menunjukkan jalan kepada orang sesat adalah sedekah. Kesediaanmu menyingkirkan gangguan, duri dan rintangan dari jalanan adalah sedekah. Menuangkan air dari timbamu ke timba saudaramu adalah sedekah. Kesediaanmu menuntun orang yang penglihatannya tidak terang adalah sedekah.”

Islam juga mensyariatkan berpuasa. Islam bukan memandang puasa sekadar meninggalkan makan dan minum, tetapi ia sebagai langkah untuk menjauhkan diri daripada melakukan perkara yang tidak baik.

Rasulullah s.a.w bersabda:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang buruk, maka tidak ada erti bagi Allah orang itu meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari)

Sabda Rasulullah s.a.w lagi:

“Puasa itu bukan dengan perbuatan meninggalkan makan dan minum, tetapi puasa harus meninggalkan ucapan-ucapan yang keji, jika seseorang yang mengumpat atau memakimu, maka katakanlah kepada orang itu aku sedang berpuasa.”

Allah s.w.t menjelaskan mengenai fashilat puasa ssebagaimana firmanNya:

“Kamu diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang yangdahulu sebelum kamu, supaya kamu bertakwa.” (2:183)

Ada orang menyangka bahawa menunaikan haji yang diwajibkan olah Islam terhadap orang yang mampu dianggap sama dengan beribadah dengan perkara ghaib. Allah s.w.t telah menegaskan dalam firmanNya mengenai manasik (peraturan) tersebut sebagai berikut:

“(Masa untuk mengerjakan ibadah) haji itu ialah beberapa bulan yang termaklum. Oleh yang demikian, sesiapa yang telah mewajibkan dirinya (dengan niat mengerjakan) ibadah haji itu, maka tidak boleh mencampuri isteri dan tidak boleh membuat maksiat dan tidak boleh bertengkar dalam masa mengerjakan ibadah haji. Dan apa jua kebaikan yang kamu kerjakan adalah diketahui oleh Allah dan hendaklah kamu membawa bekal dengan secukupnya kerana sesungguhnya sebaik-baik bekal itu ialah memelihara diri (dari keaiban meminta sedekah) dan bertakwalah kepadaKu wahai orang yang berakal (yang dapat memikir dan memahaminya).” (2:197)

Ayat di atas telah menerangkan beberapa jenis ibadah di dalam Islam dan ia merupakan rukun Islam yang paling asas. Bentuk-bentuk ibadah tersebut mempunyai perbezaan, tetapi semuanya adalah satu tujuan yang mana Rasulullah s.a.w telah bersabda:

“Sesungguhnya aku diutuskan hanya untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur.”

Solat, puasa, zakat, ibadah haji, dan ajaran-ajaran Islam lain yang mengandungi pendidikan seperti tahap-tahap kesempurnaan, ia juga merupakan cara penyucian jiwa yang dapat menjaga kehidupan dan meninggikan kedudukannya berdasarkan ibadah tersebut, maka akhlak dan budi pekerti menempati kedudukan tinggi di dalam agama Allah.

Jika seseorang tidak dapat mengambil manfaat dari ibadah-ibadah tersebut dan tidak mengetahui hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia, maka sia-sialah dia.

Allah s.w.t berfirman:

Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidupSesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”

“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).”

“(yaitu) syurga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (20:74-76)

July 02, 2007

Between Belief and Worship


By Amin Ahsan IslahiMuslim Indian Scholar

One of the most common misconceptions of our times is the assumption that one's affirmation of certain beliefs suffices for deliverance. It is done at the expense of neglecting and disregarding good deeds and morals. This misconception was initially restricted to certain sects. However, it has now crept into the whole body of believers so that it is hard to condemn it.



Notwithstanding its popularity, we must affirm that this misconception runs counter to the teachings of the Qur'an and the Prophet's Sunnah. In almost every instance of exhorting man to believe, the Qur'an asks at the same time that he should do good deeds. It is therefore evident that both are intertwined. It is expected of every believer to do good deeds. For example,



(The believers are only those whose hearts quake with awe when Allah is mentioned, and when His revelations are rehearsed to them, it increases their faith and they put their trust in their Lord, who establish prayer and who spend of what We have provided them. These are they who are the true believers.) (Al-Anfal 8:2-4)



The Qur'an likens iman to a fruit-bearing tree with its roots deeply embedded and branches spreading out, and bearing fruit in all seasons:



(Do you not see how Allah sets forth a parable? – a good word like a good tree, its roots firmly fixed, and its branches reaching the heavens: giving its fruit at all times by the command of its Lord.) (Ibrahim: 14:24-25)



The "good tree" in the above passage obviously stands for iman. Its roots being deeply embedded signifies the faith penetrating deeply in the human nature. In other words, it is not something superficial without roots, or something that may be uprooted easily. In sharp contrast to it is unbelief that does not have any firm basis (Ibrahim 14:26). Faith is like a strong tree that is not brought down by storms. Moreover, it yields fruit in all seasons. Its outspread branches provide shade and refuge to everyone. The allusion here is to the blessings accruing from the pious life of a believer. Those in contact with him also derive many benefits from him. These benefits are manifest in practical life and bear out his faith. It helps the believer to attain exaltation and elevation, as is declared by Allah: (To Him mount up goodly words and the righteous work exalts them) (Fatir 35:10). We learn from this verse that goodly words ascend—it is their nature—but they need support, which is provided by good deeds. Taken in this sense, faith may be compared to a vine that blooms as it gains some support—without support it cannot grow well, if at all.


Going by the above analogy, it may be held that true faith is contingent upon total obedience to the Prophet (peace and blessings be upon him). One's conduct should provide abundant evidence for one's faith. If one's claim to faith is not substantiated by one's emulation of the Prophet's model, one does not possess faith. It goes without saying that one who cannot prove one's faith by this evidence cannot be taken as a believer.


The Qur'an points out


(But no, by your Lord, they shall not really believe until they have made you (the Prophet) the judge of what is disputed among them and then find no demur in their hearts against what you have decreed and they submit with full submission.) (An-Nisaa' 4:65)



The verse just quoted is addressed to the hypocrites who made a show of embracing Islam, as they were overawed by its fast-growing strength. However, they maintained close ties with the Jews in and around Madinah and still enjoyed some limited political power, as the Islamic state had not yet been fully established. These hypocrites, therefore, moved their cases to Jewish courts rather than to the Prophet (peace and blessings be upon him), in the hope that by resorting to bribery and other unfair means they would be able to influence the court and secure judgment in their favor. The Qur'an declares that this practice of theirs is contrary to their claim to faith. For faith demands that they take the Prophet (peace and blessings be upon him) as the supreme ruler and abide by his decision. If they fail to do so, their claim to faith cannot be accepted. The Qur'an brings home this point elsewhere thus:



(The faithful are those only who believe in Allah and His Messenger and have not doubted thereafter, and have striven hard with their riches and their lives in the cause of Allah. Such are the sincere ones.) (Al- Hujurat 49:15)



* Excerpted with some modifications from Tazkiyah: The Islamic Path of Self-Development. Courtesy of The Islamic Foundation.
Amin Ahsan Islahi (1904-1997) was one of the leading scholars of the Indian sub-continent. He compiled a nine-volume commentary on the Qur'an and authored a number of books. His eloquent speeches and writings on da`wah (Islamic calling), the Islamic state, and many other topics have inspired generations of young Muslims.

June 29, 2007

Accept Allah Into Your Life


By Kamal Badr
Editor in Chief — English IslamOnline.net

This is the message of peace, the message of salvation. This is the message of liberation from being enslaved to mundane things that keep shackling souls with worries and sorrows.


This is a call from the One Who controls everything, calling you, humankind, to submit!


Submit your life to Him and be calm. Make your motto of life La ilaha illa Allah (There is no god but Allah). By this motto, you testify to your incapacity as a creature provided with limited faculties. You testify that everything in the universe belongs to Him and whatever He wants will come to pass in the way and the time He wants. You testify to your being created by Him in the way He wants:


[He it is Who shapes you in the wombs as He likes; there is no god but He, the Mighty, the Wise.] (Aal `Imran 3:6)


But despite his absolute power to do everything in anyway He likes, what we notice is that out of His infinite mercy He made everything perfect, created you and all what you see around you in the most beautiful way that we all behold:


[He has created the heavens and the earth in just proportions, and has given you shape and made your shapes beautiful: And to Him is the final Goal.] (At-Taghabun 64:3)


[No want of proportion will you see in the Creation of (Allah) Most Gracious. So turn your vision again: See you any flaw? Again turn your vision a second time: (Your) vision will come back to you dull and discomfited, in a state worn out.] (Al-Mulk 67:3-4)


Due to His mercy the abnormalities are subject to the law of rarity; that is, ever since the creation of Heaven and earth and the creation of Adam up to the present day, there is not any irregularity in the pattern of creation, and whatever few abnormalities that we see are also subject to His divine wisdom. Despite all the constant recklessness of humankind, painful consequences never occur in a proportional measure, subhan Allah (glory be to Allah)! Compared to the high rate of speed-limit violations, how many accidents occur daily? Very few! Actually, His mercy exceeds His wrath.


[Whatever misfortune happens to you is because of the things your hands have wrought, and for many (of them) He grants forgiveness.] (Ash-Shura 42:30)


Another point here is, your testifying to Allah's almighty power is an explicit recognition of your limit as a human being. By pronouncing the words "la ilaha illa Allah," you are actually surrendering your limited power to the mighty Lord of unlimited power; you submit your will to Him. This is Islam.


But this attestation can never be genuine if it is not accompanied by love, because faith without love is dead. If you do not love Him, you will not genuinely obey Him. This is different from relationships between mortals where hypocrisy can prevail, making it hard to distinguish between genuine and fake love. But with Almighty Allah everything is transparent, so when we talk about this highest degree of love we talk about something that is not tainted with any hypocrisy or deceit. So the true and genuine Shahadah in Islam is the one coated with love: loving Allah, which of course is the sublime love. This love will automatically make it easier to show full obedience to His commands: [Say: If you love Allah, then follow me, Allah will love you and forgive you your faults] (Aal `Imran 3:31). Thus you will find yourself spontaneously pronouncing the phrase "Muhammad Rasul Allah" (Muhammad is the Messenger of Allah) which is the second part of Shahadah in Islam.


Then bit by bit you will find yourself on a very smooth spiritual path whereby the relationship you have developed with Allah will direct light into your heart, melting away darkness. Thus the phrase "la ilaha illa Allah" will echo in all what you do, what you see, what you hear, etc. That is, it will develop into a conviction in your innermost self, reassuring you that it is through His command and wishes that everything happens. Hence this conviction is iman (faith) reposing in your heart. Henceforth your manners will be in proportional compatibility with that faith. That means you have accepted Allah into your life.

_____________________________________________________
Kamal Badr is the Editor in Chief of IslamOnline, English. He has a master degree in international law from the Faculty of Law and Shari`ah, Al-Azhar University , with a thesis entitled Modes of Reparation: A Comparative Study Between Shari`ah and International Law. He writes occasionally for http://www.islamonline.net/.You can reach him at kamal.badr@iolteam.com.

Faith and Weakness




Faith and Weakness
By Dr. Yusuf Al-Qaradawi

Some people mistake righteousness and piety with weakness and humiliation . In their view, being a devoted person implies taking a negative position and isolating oneself from the events of life. They have a distorted vision of the morals preached by Islam; for example, they understand submission as tantamount to passivity and fatalism. Humbleness, in this context, is taken to mean accepting oppression and giving up all means and manifestations of strength. Refuting this misconception, Dr. Yusuf Al-Qaradawi states:
“The true concept of Islam has nothing to do with such spiritlessness or weakness. In fact, iman (faith) has always been the source of strength and might, high morals, and strong personality.

Once `Umar ibn Al-Khattab (may Allah be pleased with him) saw a man who, while performing Prayer, was totally withdrawn and dispirited, as if coming from among the dead. `Umar reacted angrily to such attitude and said to the man, “Do not incorporate into our religious rites aspects of death. Submissiveness is that of the heart not of appearance.”

`Umar was famous for his saying “O Allah! I seek refuge in You from fake submissiveness.” People said, “What is fake submissiveness?” `Umar replied, “To have a humble body, but not a humble heart.” Ash-Shifa’ bint `Abdullah saw some youth walking listlessly, so she asked, “Who are those people?” “They are ascetics,” was the answer. She commented, “`Umar, though a real ascetic, used to walk quickly, speak loudly, and hit severely,” indicating that he was strong.

While being the example of modesty and humbleness, the Prophet (peace and blessings be upon him) used to walk quickly as if coming down from a hill. Abu Hurairah (may Allah be pleased with him) described him: “I have never seen a person with a countenance more beautiful than that of the Prophet (peace and blessings be upon him) as if sun was shining in his face. I have never seen a person quicker in pace than him, as if land is folded before his feet.”.

June 28, 2007

Masuklah kedalam Islam secara Kaffah

Al Baqarah 208-209
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( al- Baqarah : 208-209 ).

Inilah seruan kepada kaum mukminin dengan menyebut iman. Yaitu, sifat atau identitas yang paling mereka sukai, yang membedakan mereka dari orang lain dan menjadikan mereka unik serta menghubungkan mereka dengan Allah yang menyeru mereka itu. Seruan kepada orang orang beriman unfuk masuk Islam secara total’ Pemahaman pertama terhadap seruan ini ialah orang-orang mukmin harus menyerahkan diri secara total kepada Allah, dalam urusan yang kecil maupun yg besar. Hendaklah mereka menyerahkan diri dengan sebenar-benarnya secara keseluruhan, baik mengenai tashawur,’persepsi, pandangan’, pemikiran’ maupun perasaan, niat maupun amal’,kesenangan maupun ketakutan; dengan tunduk dan patuh kepada Allah, dan ridha kepada hukum dan qadha-Nya, tak tersisa sedikit pun dari semua ini untuk selain Allah. Pasrah yang disertai dengan ketaatan yang mantap, tenang, dan ridha. Menyerah kepada tangan (kekuasaan) yang menuntun langkah-langkahnya. Mereka percaya bahwa “tangan” itu menginginkan bagi mereka kebaikan, ketulusan’ dan kelurusan .

Mereka merasa tenang dan tenteram menempuh jalan itu ketika berangkat dan kembali di duniaataupun diakhirat .Arahan dakwah kepada orang-orang yang beriman ini juga mengisyaratkan bahwa di sana terdapat jiwa-jiwa (manusla) yang senantiasa memberontak dengan keragu-raguan untuk melakukan ketaatan yang mutlak baik secara sembunyi maupun terang-terangan Ini adalah hal yang biasa terdapat di dalam kelompok masyarakat, di samping itu ada jiwa-jiwa yang tenang, percaya kepada Allah, dan ridha’ Ini adalah seruan yang setiap waktu ditujukan kepada orang-orang yang beriman agar mereka menjadi suci dan bersih, tulus dan ikhlas, dan sesuai getaran getaran jiwa dan arah perasaannya dengan apa yang dikehendaki Allah bagi mereka dan juga agar sesuai dengan tuntutan nabi dan agama mereka dengan tanpa keraguan dan kebimbangan serta kegamangan. Ketika seorang muslim mematuhi ini dengan sebenar-benarnya berarti ia telah masuk ke alam kedamaian secara menyeluruh dan ke alam keselamatan secara total. Alam yang penuh kemantapan dan ketenangan, penuh keridhaan dan kemantapan tidak ada kebingungan dan kegoncangan, tidak ada kelinglungan dan kesesatan.
Damai dengan segala yang ada dan segala yang maujud’. Kedamaian yang berseri-seri dalam lubuk hati. Kedamaian yang membayang-bayangi kehidupan dan masyarakat ” kesejahteraan dan keselamatan di bumi dan langit .Keselamatan dan kedamaian yang pertama kali melimpah ke dalam hati melimpah dari tashaawwur-nya yang benar terhadap Allah Tuharnya memancar dari keindahan dan kelapangan tashawwurnya ini .Sesungguhnya, Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa yang kepada-Nya orang muslim menghadapkan arahnya dengan hati yang mantap. Maka jalannya kepada Nya tidak bercerai-berai, penghadapannya kepada Nva tidak berbilang (melainkan cuma satu) dan tidak diombang-ambingkan oleh tuhan ini dan tuhan itu ke sana ke mari sebagaimana ketuhanan berhala dalam jahiliah. Yang ada hanya satuTuhan tempat ia menghadap dengan penuh keyakinan dan kemantapan, dengan terang dan jelas. Dia ( Allah) adalah Tuhan Yang Mahakuat, Mahakuasa dan Mahaperkasa , Apabila seorang muslim menghadap kepada-Nya berarti ia menghadap kepada kekuatan yang sebenarnya yang cuma satu-satunya di alam semesta ini. Ia merasa aman dari semua kekuatan palsu, merasa tenang dan tenteram.. Ia tidak merasa takut kepada seseorang atau kepada sesuatupun. Ia hanya menyembah kepad.a Allah yang Mahakuat, Mahakuasa dan Mahaperkasa. Ia juga tidak khawatir kehilangan sesuatu dan tidak juga berambisi terhadap apa saja yang ada pada orang yang tidak berkuasa untuk mencegah atau memberi.

Dia adalah Tuhan Yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Kekuatan dan kekuasaan-Nya merupakan jaminan dari kezaliman, hawa nafsu, dan merugikan hak orang lain. Ia tidak seperti tuhan-tuhan berhala dan kejahiliahan dengan bermacam-macam kemauan dan keinginannya. Dengan demikian, seorang muslim meninggalkan ketuhanan berhala dan berlindung kepada Allah, pilar yang kokoh, untuk mendapatkan keadilan, perlindungan, dan keamanan. Dia adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Pemberi nikrnat dan Pemberi karunia ,Pengampun dosa dan Penerima tobat yang mengabulkan permohonan doa orang yang memohon kepada-Nya dan menghilangkan duka deritanya. Maka, seorang muslim di bawah naungan Allah merasa aman dan tenang, merasa selamat dan berhasil, disayangi kalau lemah, dan diampuni kalau bertobat. Demikianlah seorang muslim menjalani kehidupannya bersama sifat sifat Tuhannya yang dikenalkan oleh Islam kepadanya. Maka’ pada setiap sifat-Nya dia menemukan sesuatu yang menenangkan hatinya dan menenteramkan jiwanya. Dia menemukan sesuatu yang menjamin perlindungan, pemeliharaan kelemah lembutan, kasih sayang keperkasaan,ketahanan, kemantapan, dan keselamatan.

Begitulah Islam melimpahkan ke dalam hati orang muslim pandangan yang benar mengenai hubungan antara hamba dan Tuhan, antara Sang Pencipta dan alam semesta, serta antara alam semesta dan manusia . Maka Allah telah menciptakan alam ini dengan benar serta menciptakan segala sesuatu padanya dengan ukuran dan hikmah. Manusia diciptakan dengan bertujuan, tidak dibiarkan sia-sia telah disiapkan untuknya segala keadaan alam yang sesuai buatnya dan diciptakan pula segala sesuatu di bumi untuknya. Manusia adalah makhluk yang mulia dalam pandangan Allah. Dia adalah khalifah-Nya di muka bumi. Allah senantiasa menolongnya dalam menjalankan kekalifahannya ini, sedang alam sekitarnya merupakan teman yang baik baginya, saling merespons antara ruhnya dan ruh semesta, ketika kedua-duanya menuju kepada Allah-Tuhan Semestaa Alam. Dia diseru kepada festival Ilahi yang diadakan di langit dan bumi ini agar dia senang dan gembira . Dia juga diseru untuk saling berlemah-lembut dan berkasih sayang dengan segala sesuatu dan segala makhluk hidup di alarm yang besar ini. Yakni, semua yang bersorak-sorai dengan teman-teman yang sama-sama diseru seperti dia untuk ikut dalam festival ini, dan sama-sama meramaikannya.

Akidah yang menghentikan pemiliknya di depan tumbuhan kecil ini dan membisikkan kepadanya bahwa dia akan mendapatkan pahala kalau mau menyiramnya ketika ia sedang haus, membantunya unfuk berkembang, dan menghilangkan semua gangguan dari jalannya, adalah akidah yang indah lebih dari sekadar akidah yang mulia. Akidah yang menuangkan kedamaian didalam ruhnya, yang membebaskannya untuk berpelukan mesra dengan seluruh alam semesta, menebarkan keamanan dan kelembutan di sekitarnya, kasih sayang dan keselamatan. Keyakinan akan adanya alam akhirat memiliki peranan yang pokok di dalam mencurahkan keselamatan dan kedamaian ke dalam ruh orang mukmin dan dunianya. Juga berperanan dalam menghilangkan kegundahan, kebencian, dan keputusasaan.

Sesungguhnya perhitungan terakhir bukan di dunia ini dan pembalasan yang sempurna bukan di alam kehidupan yang sementara ini. Karena sesungguhnya perhitungan terakhir ada di sana dan keadilan yang mutlak terkandung di dalam perhitungan ini. Maka ia tidak menyesal kalau melakukan kebaikan dan berjihad di jalan Allah, tetapi belum tampak hasilnya atau belum mendapatkan balasannya. Ia tidak sedih dan bimbang kalau belum mendapatkan balasan yang sempurna dibandingkan orang lain dalam kehidupan ini, karena dia akan mendapatkannya secara sempurna menurut timbangan Allah. Dia juga tidak berputus asa untuk mendapatkan keadilan apabila di dalam perjalanan hidup yang pendek ini tidak mendapatkan bagian yang diinginkannya. Karena keadilan itu pasti akan terwujud, sedang Allah tidak hendak berbuat zalim kepada hamba -hamba-Nya .Keyakinan adanya akhirat juga menjadi penghalang baginya dari melakukan pertarungan gila-gilaan dan panas yang mengotori tata nilai dan segala sesuatu yang patut dihormati, dengan tidak merasa berat dan tidak merasa malu. Maka, di sana ada akhiral di sana juga ada karunia, kekayaan, dan penggantian terhadap segala sesuatu yang terlepas.

Pandangan yang demikian ini akan menimbulkan kedamaian dan keselamatan dalam lapangan perlombaan dan persaingan; tidak merasa paling baik daripada semua gerak-gerik orang yang ikut perlombaan; dan menganggap enteng semua perniagaan yang lepas dari perasaan bahwa safu-satunya kesempatan ialah usia yang pendek dan terbatas ini. Pengetahuan dan kesadaran seorang mukmin adalah bahwa tujuan keberadaan manusia adalah ibadah karena ia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Hal ini akan mengangkat derajatnya ke cakrawala yang terang benderang, akan mengangkat perasaan dan hati nuraninya akan mengangkat aktivitas-aktivitas dan amalnya dan akan menyucikan semua jalan dan sarananya. Maka, ibadahlah yang ia kehendaki ketika sedang melakukan aktivitas dan amalannya, bekerja dan mengeluarkan belanja menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi, dan merealisasikan berlakunya manhaj Allah padanya , pantaslah kalau dia tidak mau berbuat curang dan durhaka tidak mau mengicuh dan menipu, tidak mau berbuat aniaya dan sewenang-wenang, tidak mau menggunakan caracara yang kotor dan hina, tidak mau tergesa-gesa dalam menempuh tahapannya, tidak mau menempuh jalan pintas (menyimpang dari kebenaran), dan tidak mau mengendarai kesulitan dalam urusannya.

Dia sangat serius melakukan tujuan ibadahnya dengan niat yang ikhlas dan beramal serta bekerja secara konstan (terus menerus) dalam batas-batas kemampuannya. Dengan semua ini, tidaklah berkobar-kobar rasa takut dan ambisi di dalam jiwanya serta tidak bergoncang jiwanya dalam menempuh setiap tahapan dalam perjalanannya. Maka dia beribadah dalam setiap langkahnya, dia mewujudkan tujuan keberadaannya dalam setiap getaran pikirannya dan dia naik menuju Allah dalam setiap aktivitas serta dalam semua lapangannya. Perasaan seorang mukmin selalu berjalan bersama takdir Allah dan selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh Allah. Perasaan ini akan menuangkan kedalam ruhnya ketenteraman, kedamaian, dan kemantapan, serta penerang jalannya ” Sehingga mereka tidak bingung, tidak gundah, dan tidak marah-marah dalam menghadapi kendala hambatan, dan kesulitan serta mereka tidak putus asa dari pertolongan dan bantuan Allah, dan juga tidak khawatir akan salah tujuan atau tersia-sia balasannya.

Oleh karena itu, ia merasakan kedamaian didalam jiwanya sehingga ia rela berperang menghadapi musuh musuh Allah dan musuh-musuhnya. Sebab, ia berperang karenaAllah, dijalan Allah, dan untuk menjunjung tinggi agama Allah. Ia tidak berperang untuk mendapatkan kedudukan, harta rampasan, memenuhi ambisi, atau untuk mendapatkan kekayaan kehidupan dunia. Demikian pula perasaannya bahwa dia berjalan pada sunatullah bersama seluruh alam ini. Undang-undang alam adalah undang-undangnya iuga arah alam adalah arahnya juga” (arena itu, tidak berbentuan dan tidak bertentangan, dan tidak boleh mengeksploitasi alam dengan sewenang-vvenang. Seluruh kekuatan alam adalah untuk kekuatannya dengan cahaya yang mengarahkan dirinya. Kekuatan alam ini pun menuju kepada Allah bersamanya . Tugas-tugas yang diwajibkan oleh Islam kepada orang muslim semuanya bersumber dari fitah dan untuk meluruskan fitrah itu, tidak melampaui batas kemampuannya tidak acuh terhadap tabiat dan kejadian manusia tidak mengabaikan satupun potensi manusia dengan tidak membebaskannya untuk beramal, membangun, dan berkembang. Taklif Islam juga tidak melupakan satu pun kebutuhan jasmani dan rohaninya. Tidak pula merajalelakannya dalam kemudahan, kebebasan, dan kelaparan.

Oleh karena itu, ia tidak bingung dan tidak gundah di dalam menghadapi tugas - tugasnya Ia mengembannya sesuai dengan kemampuannya dan ia berjalan di jalannya menuju kepada Allah dengan tenang, bahagia dan damai. Masyarakat yang dibangun oleh manhaj Rabbani ini berada dalam naungan peraturan yang bersumber dari akidah yang bagus dan mulia ini Mereka berada di bawah jaminan –jaminan yang meliputi iiwa kehormatan, dan hartabenda . Semuanya menebarkan keselamatan dan jiwa kedamaian. Demikianlah masyarakat yang saling menyayangi dan saling mencintai, yang saling berhubungan dengan berjalin berkelindan, saling menjamin, dan saling setia Inilah tipe masyarakatyang hendak diwujudkan oleh Islam, dalam bentuknya yang palingtinggi dan paling bersih. Kemudian” diwujudkannya dalam aneka macam bentuk menurut masanya, dengan tingkat-tingkat kejernihan yang berbeda. Akan tetapi secara keseluruhan lebih baik daripada masyarakat lain yang dibentuk oleh kejahiliahan dalam masa lampau ataupun masa sekarang. Juga lebih baik dari semua masyarakat yang dilumuri oleh kejahiliahan ini dengan segala pandangan dan tatanan keduniawiannya. Inilah masyarakat yang diikat dengan unsur akidah yang meleburkan semua unsur kesukuan dan kebangsaan, bahasa dan warna kulit dan semua unsur baru yang tidak ada hubungannya dengan esensi manusia .

Sayyid Quthb , Tafsir Fi-Zhilalil Quran , Jilid 1 hal 245